Rabu, 28 September 2011

industry pengolahan ikan


Tugas
Mata Kuliah :  Manajemen Lingkungan Industri  Perikanan
Dosen                   : Selviana Arifin, S.Pi

‘’Industry Hasil Perikanan Yang Baik Dimata Dunia Dan Penerapan Teknologi Bersih  Dalam Industry Pengolahan Ikan’’



Logo STPL Baru
 





Disusun oleh:

Osmar Boeatandz
(08 001 028)



PROGRAM STUDY TEKNOLOGI HASIL PERIKANAN
SEKOLAH TINGGI PERIKANAN DAN KELAUTAN (STPL)
PALU
2011



BAB I
PENDAHULUAN
1.1.            Latar Belakang
Industri pengolahan hasil perikanan Indonesia bila ditinjau dari umurnya tidak bisa lagi diangap muda. Kita telah cukup lama mengenal ikan asin, pindang, terasi, kecap ikan dan produk tradisional lainnya. Apabila pembekuan dipandang sebagai salah satu jenis pengolahan, maka setidaknya industri pengolahan modern kita telah berusia hampir 30 tahun, yaitu dimulai ketika terjadi pengiriman pertama contih tuna beku ke Amerika Serikat pada tahun 1968, memanfaatkan satu gudang beku tua yang biasa digunakan untuk logistik armada pelayaran peninggalan Koninlijke Paketvaarts Maatschappij di Tanjung Periuk.
Manakala kita melihat proporsi ikan kita yang diolah, maka kita akan terpaku pada kenyataan bahwa lebih dari 50% hasil panen ikan kita dipasarkan dalam bentuk segar. Produksi perikanan pada tahun 2004 adalah 6.275.810 ton yang meliputi hasil perikanan tangkap dan perikanan budidaya, 57% dipasarkan dalam bentuk segar, 30% diolah secara tradisional, 11% diolah secara modern (pembekuan, pengalengan) dan sekitar 2% dimanfaatkan sebagai produk lain seperti tepung ikan.
Dari angka di atas dapat disimpulkan bahwa industri pengolahan kita masih perlu ditingkatkan terus sehingga akan lebih banyak produk perikanan yang beredar di pasar dalam negeri, baik dari segi jumlah maupun jenis. Dengan tersedianya berbagai produk itu kita dapat mendongkrak tingkat konsumsi ikan di dalam negeri yang saat ini masih berkisar di angka 24 kg/kapita/tahun. Angka ini relatif rendah bila dibandingkan dengan negara tetangga kita seperti Singapura (85 kg/kap/th), Malaysia (45 kg/kap/th) atau Thailand (35 kg/kap/th).
Pengolahan produk perikanan kita, di samping itu, juga menghadapi berbagai kendala seperti a) Rendahnya mutu bahan baku untuk usaha pengolahan hasil berdampak tingginya losses; b) Rendahnya utilitas kapasitas industri, yaitu sekitar 40% dari kapasitas terpasang karena kekurangan pasokan bahan baku; c) Usaha pengolahan hasil perikanan lebih dari 96% adalah usaha pengolahan tradisional (UKM) dengan berbagai keterbatasan; d) Masih maraknya penggunaan bahan kimia berbahaya/terlarang dalam penanganan dan pengolahan ikan; dan e) Belum berkembangnya diversifikasi produk dan pengembangan produk bernilai tambah.
1.2.            Tujuan penulisan
Tujuan penulisan makalah ini adalah untuk melengkapi tugas mata kuliah Manajemen Industry Hasil Perikanan pada semester V (lima), disamping itu juga untuk mengetahui tentang industry hasil perikanan yang baik dimata dunia dan sanitasi atau teknologi bersih  dalam industry pengolahan ikan tersebut.





BAB II

PEMBAHASAN


2.1       Pengertian Industry Hasil Perikanan

Industri pengolahan hasil perikanan merupakan salah satu agroindustri yang memanfaatkan hasil perikanan sebagai bahan baku untuk menghasilkan suatu produk yang bernilai tambah lebih tinggi. Industri perikanan seperti juga industri-industri yang
lain selain menghasilkan produk yang diinginkan, juga menghasilkan limbah baik limbah padat maupun limbah cair.
Dengan makin meningkatnya kepekaan global terhadap masalah lingkungan, produksi bersih menawarkan pemecahan yang secara ekonomis, paling baik dan masuk
akal. Pendekatan pencegahan terhadap limbah menawarkan tingkat perlindungan yang
paling tinggi terhadap pekerja dan kesehatan umum, termasuk perlindungan serta konservasi lingkungan baik lokal maupun global. Keuntungan lain selain daripada keuntungan yang bersifat lingkungan yaitu keuntungan ekonomis yang dapat berupa reduksi biaya dari bahan baku, serta pengembangan produk baru dari limbah yang
direkoveri.
Pada industri perikanan baik industri pengalengan, industri pembekuan (cold storage), tepung ikan, rumput laut dan lain-lain, sangat besar mengkonsumsi air yang digunakan untuk pengolahan, pencucian bahan baku dan peralatan, serta operasional peralatan pengolahan. Oleh karena itu air limbah yang dikeluarkan (efluen) yang dikeluarkan oleh industri perikanan sudah dipastikan besarnya volume.

2.2.      Industry perikanan Indonesia dimata Dunia
Di pasar luar negeri, produk perikanan Indonesia lebih didominasi produk segar atau beku dengan pasar utama Jepang, Amerika dan Uni Eropa. Produk olahan yang kita ekspor masih sangat terbatas dalam bentuk ikan kaleng, itu-pun kalah jauh bila dibandingkan dengan Thailand yang menguasai pasar ikan kaleng dunia. Thailand juga dikenal sebagai negara pengekspor utama berbagai produk perikanan. Negara ini telah mencanangkan jauh-jauh hari sebagai negara pengolah, berbeda dengan Indonesia yang sampai saat ini masih saja memproduksi dan mengekspor produk mentah atau gelondongan.
Sebagai salah satu eksportir utama dunia Indonesia tidak luput dari berbagai permasalahan yang terkait dengan ketatnya persyaratan negara pengimpor. Persyaratan tersebut tidak saja berhubungan dengan masalah teknis seperti kualitas dan keamanan konsumsinya, namun juga non teknis seperti isu lingkungan dan ketertelusuran (traceability).
Uni Eropa saat ini memberlakukan Systemic border control yang mengwajibkan semua produk Indonesia yang masuk pasar Eropa menjalani tes khusus misalnya mengenai kandungan logam berat dan histamin (untuk ikan-ikan sejenis tuna, tongkol, tenggiri dll), dan biaya tes ditanggung oleh eksportir. Tentu ini menyulitkan dan memberatkan industri kita.
Amerika Serikat mewajibkan eksportir udang kita menyertakan dokumen DS2031 dalam persyaratan ekspor untuk menjamin bahwa udang yang diekspor ke sana ditangkap dengan trawl atau sejenisnya yang dilengkapi dengan alat pemisah penyu yang telah disetujui oleh mereka, atau bila dari budidaya, udang tersebut dipanen dari lahan pembudidayaan yang memenuhi syarat. Dengan kata lain, melalui dokumen DS2031 pula, eksportir harus bisa menjamin bahwa riwayat udang yang diekspornya dapat ditelusuri.
Ditambah dengan era otonomi daerah, yang dalam beberapa hal dinilai kebablasan, maka industri pengolahan kita juga dihadapkan kepada kepastian hukum, keamanan dan ekonomi biaya tinggi yang ditampilkan dalam berbagai retribusi dan pungutan, yang akhir-akhir ini semakin banyak bermunculan.
Kesemuanya itu sungguh memerlukan upaya yang tidak mudah dan mungkin juga memakan biaya yang tidak kecil baik dari segi proses maupun upaya diplomasi. Namun bila itu semua bisa tertangani dengan baik, tentu harus melalui dengan kebersamaan antara pemerintah dan pelaku yang saling mendukung, maka hasil akhir yang diperoleh akan membawa manfaat yang tidak kecil bagi negara bahari ini, setidaknya dalam hal (1) meningkatkan nilai tambah, (2) meningkatkan jaminan mutu dan keamanan produk, (3) meningkatkan daya saing, (4) menyerap tenaga kerja sekaligus meningkatkan pendapatan pengolah, (5) menumbuhkan efek ekonomi ganda yang pada gilirannya dapat mendorong pertumbuhan ekonomi lokal, dan tentu saja (6) peningkatan devisa dari perikanan

2.3.. Optimasi Pemanfaatan Air dan Bahan Baku


Selama proses pengolahan bisa terjadi kontaminasi, kerusakan dapat disebabkan karena air dan es yang dipergunakan tercemar, akibat  wadah yang tidak bersih, pekerja tidak bersih, pengolahan tidak sempurna, maupun mesin tidak memenuhi standard. Juga karena binatang pengerat/ binatang lain yang masuk ke ruangan prosesing atau gudang, bahan pengepakan kurang baik/kurang bersih, waktu prosesing terlalu lama. Agar supaya kualitas produk lebih baik dan memenuhi standard keamanan/keselamatan konsumen, dilakukan dengan cara berproduksi baik dan benar ( Good Manufacturing Practices).

Penggunaan air yang besar pada industri perikanan menyebabkan efluen yang besar pula terhadap lingkungan, karena jumlah konsumsi air pada dasarnya sama jumlahnya dengan aliran efluen (River et al., 1998) .
Mereduksi aliran efluen untuk mengurangi beban limbah dapat dengan membatasi air yang digunakan untuk peralatan pengolahan. Penggunaan air pada setiap proses berasal dari 2 arus utama: yaitu air yang digunakan untuk proses dan air yang digunakan untuk mencuci peralatan dan lantai. Air untuk mencuci bisa direduksi dengan system countercurrent washing, penghilangan solid sisa-sisa potongan sebelum pencucian, atau dengan menggunakan detergen sesuai dengan persyaratan minimum.
Menurut River et al. (1998), pada pabrik pengalengan (canning) penggunaan ulang (reuse) air dari autoclave dan daur ulang (recycle) air dari pompa vacuum dapat mereduksi konsumsi air dari 692 m3/hari menjadi 389,2 m3/hari. Pada pabrik pengolahan ikan salmon, daur ulang air dari pompa vakum dapat mereduksi konsumsi
dari 377,0 menjadi 256,4 m3/hari. Penggunaan kembali air dari proses pendinginan “cooked crustacea” untuk pencucian dapat mereduksi konsumsi air dari 712,6 menjadi 568,6 m3/hari.

2.4.      Hirarki Limbah dalam Pengolahan Hasil Perikanan

Hirarki limbah adalah sebuah daftar prioritas dan tanggung jawab yang menunjukkan arah pemikiran mengenai pilihan yang lebih disukai dalam mengelola semua jenis hasil (output) limbah bukan produk dari industri dan operasi yang sejenis. Walaupun tekanannya tetap pada limbah yang berbahaya, hampir semua yang dikatakan limbah juga berlaku bagi polusi udara dan polusi air (Hirsschhorn, 1994). Konsep hirarki merupakan hal yang penting, karena walaupun program produksi bersih dan program yang sama diseluruh dunia, sangat efektif dan menguntungkan bagi semua jenis industri, tidak semua limbah dapat segera dikurangi atau ditiadakan. Hirarki limbah menurut Weston dan Stuckey (1994)
Tindakan-tindakan yang lebih disukai hirarki limbah tersebut adalah:
1. Meniadakan atau mengurangi pembentukan limbah disumbernya didalam lingkungan operasi industri, seperti dalam proses (in-process) dan daur ulang lingkar tertutup (closed-loop recycling).
2. Memakai kembali (re-use) atau daur ulang (recycle) limbah, lebih disukai di lokasi pabrik atau di perusahaan yang sama, atau di tempat lain bila diperlukan.
3. Menggunakan teknologi pengolahan yang aman dalam mengurangi limbah beracun, mobilitas atau volume, biasanya menghasilkan residu padat yang merupakan masalah untuk pilihan berikutnya.
4. Membuang limbah ke lingkungan, lebih disukai dengan menggunakan metode yang direkayasa, yang menyediakan sistem penyimpanan jangka panjang, seperti penimbunan tanah yang didesain dengan baik, dibanding dengan pembuangan bahan limbah langsung ke udara, air atau tanah.


























BAB III
PENUTUP

3.1       Kesimpulan

            Industri pengolahan hasil perikanan merupakan salah satu agroindustri yang memanfaatkan hasil perikanan sebagai bahan baku untuk menghasilkan suatu produk yang bernilai tambah lebih tinggi. Globalisasi dan pertumbuhan ekonomi semakin meningkatnya kesadaran manusia menjaga kesehatan; melahirkan tuntutan jaminan kesehatan dan keselamatan produk perikanan yang akan dikonsumsi. Dikaitkan ekspor hasil perikanan berarti kualitas dan mutu hasil perikanan sangat menentukan persaingan pasar. Negara pengekspor harus meningkatkan sistem pembinaan mutu; antara lain memperketat peraturan sesuai tuntutan konsumen. Dalam rangka melindungi konsumen, telah dikembangkan Quallity Management Programme (QMP) di Canada, ISO-9000 oleh Organization for International Standard, Hazard Analysis Critical Control Point (HACCP) oleh Amerika Serikat. Pada prinsipnya menekankan pengawasan yang menjamin mutu sejak bahan baku (pra produksi) sampai ke produk akhir.

3.2       Saran
Industry atau Unit Pengolahan perikanan harus memenuhi standar mutu konsumsi dalam negeri maupun ekspor berpedoman standar pengolahan sesuai jenis komoditas; mulai dari penanganan, pengumpulan, pengangkutan, penyimpanan, dan pendistribusian harus berpedoman pada persyaratan sanitasi, standar mutu produk hasil perikanan sesuai standar mutu yang ditetapkan Badan Standardisasi Nasional (BSN) sebagai Standar Nasional Indonesia (SNI).

DAFTAR PUSTAKA

Tidak ada komentar:

Posting Komentar